Tahun 7 H, kaum muslimin menang besar. Khaibar, benteng Yahudi bebuyutan Madinah, takluk di hadapan pedang-pedang para sahabat. Hanya kurang dari 2 tahun sebelumnya, orang-orang Yahudi sana hampir mengancam hayat Madinah dengan pengepungan bersama koalisi Quraisy-Gaṭafān dalam Pertempuran Khandaq.
Kemenangan ini melimpahi para sahabat dengan rampasan perang yang meruah. Salah satu sahabat itu adalah Sayyidina ʻUmar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallahuanhu. Ia mendapatkan sebidang tanah pertanian subur di sana. Tanah itu bertempat di Wadi Khaibar, ia disebut Ṡamag. Ia belum pernah punya harta semewah itu sebelumnya. Untuk bersyukur, ia pun menanyakan apa amalan terbaik yang bisa ia lakukan dengan tanah tadi. “Jika kau mau,” Nabi ﷺ menawarkan. “Ḥabasta aṣlahā wa taṣaddaqta bihā. Tahan pokoknya dan sedekahkan (hasilnya).”
Itulah yang ʻUmar lakukan. Akte wakafnya pun diteken. Tanah wakaf itu menjadi tidak dijual, tidak dihibahkan dan diwariskan. Manfaat wakafnya dibagikan untuk para fakir, sanak-kerabat, kemerdekaan budak, perjuangan di jalan Allah, para tamu, dan musafir yang habis bekal. Pengelolanya boleh makan dari hasilnya tanpa berlebihan, juga memberi makan temannya yang tidak berpunya.
ʻUmar sendiri yang turun tangan mengelola tanah itu dan pembagian hasilnya, semasa hidup hingga akhir umurnya. Dalam wasiatnya, ia menyerahkan pengelolaan kepada putrinya, Umm-al-Muʻminīn Ḥafṣah raḍiyallahuanhā. Untuk kemudian dilanjutkan oleh orang-orang penanggung jawab dari keluarga Sayidina ʻUmar, seperti ʻAbdullāh bin ʻUmar. Jabatan nāẓir seterusnya dipegang turun-temurun dari generasi ke generasi.
Tanah itu tetap terkelola dengan baik dan terus bertahan untuk waktu yang lama. Era Umawiyyah, Abbāsiyyah, keproduktifan wakaf itu masih terjaga. Sejarawan al-Muṣʻab al-Zubairī (w. 236 H/851 M) menyebutkan bahwa tanah itu dikelola oleh ʻUbaidullāh bin ʻUmar (anak buyut ʻUmar), seorang tokoh yang menolak jabatan kadi di zaman Hārūn al-Rasyīd. Yang berarti wakaf ʻUmar di Khaibar itu masih produktif untuk sekurang-kurangnya sekitar dua abad!
Tidak hanya kebermanfaatan materielnya yang mengabadi, wakaf ʻUmar juga mengajarkan kaum muslimin fikih-fikih wakaf. Ketika mengkaji tentang fikih wakaf, pasti percakapan ʻUmar dan Nabi ﷺ di atas sering muncul sebagai dalil. Sehingga walaupun fisiknya sudah tidak ada, wakaf sahabat yang bergelar al-Fārūq ini tetap eksis memberi kemanfaatan kepada umat Islam secara pengajaran.
Selain tanah wakaf tadi, Sayidina ʻUmar masih punya banyak lagi amalan jāriyah tak putus. Di Makkah, ia mewakafkan serumah untuk anak-anaknya. Rumah bekas warisan ayahnya di sana juga ia wakafkan untuk para haji ke Baitullah. Selain itu semua, masih banyak lagi wakaf-wakaf yang disembahkan ʻUmar kepada Tuhannya, menjadi kebermanfaatan bagi umat.
Setelah mengetahui kedermawanan ʻUmar, sekarang kita dapat mengerti kenapa beliau disebut-sebut sebagai manusia terbaik setelah Abū Bakr. Belum lagi karena keimanannya, keadilannya, keberaniannya, juga kecerdasan dan keilmuannya.
#AmalTakPutusParaAuliya
Yuk, dukung program Wakaf Mulia dengan berwakaf di https://www.wakafmulia.org/program/
Penulis: Muhamad Syauqi Syahid, Mahasiswa Sejarah Universitas Al-Azhar Kairo
Referensi:
Niżām al-Waqf fī al-Islām, ʻAlī M. al-Zahrānī
Nūr al-Yaqīn, Syekh Muhammad al-Khuḍarī Bek