Untuk melanjutkan seri #AmalTakPutusParaAuliya, kita akan berkenalan dengan Sahabat Sa’d bin Abī Waqqāṣ al-Zuhrī—raḍiyallahuʻanhu—dan amal wakafnya. Ia adalah salah satu orang yang paling awal masuk Islam. Ia juga sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga dan salah satu Enam Syura. Dalam medan jihad, ia tak pernah absen dalam silang pedang di sisi Nabi ﷺ. Ia bahkan disebut-sebut sebagai mujahid pertama yang menembakkan panah di jalan Allah. Ketika Perang Uhud, ia di antara yang teguh melindungi Rasulullah ﷺ, memanahi musuh di kanan-kiri. “Tembak, Saʻd!” Rasulullah ﷺ menyemangati. “Tebusanmu adalah ayah dan ibuku!”
Saat masa-masa Perang Hunain 8 H, Sayidina Saʻd jatuh sakit parah di Makkah. Saking parahnya, ia merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Rasulullah ﷺ pun menjenguknya setelah kembali dari perang ke Makkah. Sakit yang mendera Saʻd tampak jelas di wajahnya. “Rasulullah, Aku punya harta yang banyak,” ia berkonsultasi setelah Nabi ﷺ selesai mendoakannya. “Sedangkan Aku tidak punya pewaris kecuali seorang anak perempuan. Apa Aku wasiatkan saja seluruh hartaku itu (untuk orang lain)?”
“Tidak,” tegas Rasul ﷺ.
“Apa kuwasiatkan dua per tiganya?” Tanya Saʻd lagi. Jawabannya masih tegas sama.
“Apa kuwasiatkan setengahnya?” Masih sama.
Ia lanjut bertanya lagi, “Apa kuwasiatkan sepertiganya?”
“Sepertiga,” baru Rasul ﷺ membolehkan. “Dan sepertiga itu sudah termasuk banyak.”
“Nafkahmu dari hartamu itu sudah dihitung sedekah bagimu,” lanjut Nabi ﷺ menasihati. “Dan nafkahmu untuk orang-orang tanggunganmu juga adalah sedekah. Nafkahmu untuk keluargamu juga sedekah. Dan kamu meninggalkan keluargamu dengan sumber penghidupan itu lebih baik daripada meninggalkan mereka mengemis-ngemis ke orang-orang.”
Doa Nabi ﷺ diijabah Allah. Sayidina Saʻd ternyata sembuh dan bahkan lanjut hidup untuk lebih dari 4 dekade selanjutnya. Kesempatan “hidup yang kedua” itu beliau penuhi dengan bakti pada Islam dan umatnya.
Percakapan kala sakit dengan Rasulullah ﷺ itu membekas di batin Saʻd. Itu dapat dilihat dari amal wakafnya untuk anak-anaknya yang banyak setelahnya.
Ia mewakafkan rumah-rumahnya untuk anak-anaknya, tidak dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Ia juga menyaratkan anak-anak perempuannya yang boleh tinggal di sana hanya yang tidak bersuami atau sudah menjanda. Walaupun pernah ada sedikit usikan dari beberapa ahli warisnya, rumah wakaf tadi “semuanya masih di tangan anak-keturunannya hari ini, dalam cakupan sedekah (wakaf).” Begitu pengakuan Ibnu Syabbah di abad 9 M dalam Tārīkh al-Madīnah al-Munawwarah, lebih dari 2 abad sejak wafatnya Sahabat Sa’d bin Abī Waqqāṣ.
Dan yang menarik lagi, naskah surat wakaf Saʻd masih terekam huruf ke huruf hingga saat ini. Objek-objek wakafnya, syarat-syaratnya, hingga saksi-saksi dan juru tulisnya, ada lengkap. Ia diriwayatkan Ibnu Syabbah dalam karya yang sama.
Itu tadi sekelumit dari amal wakaf Sahabat Sa’d bin Abī Waqqāṣ—raḍiyallahuʻanhu—. Wakaf rumah yang menjadi jaminan ekonomi keluarganya sepeninggalnya, orang-orang yang paling berhak atas jaminan itu darinya. Ia pun menjadi amal tak putus satu-satunya orang yang Rasul ﷺ berseru kepadanya, “Tebusanmu ayah dan ibuku!”
Yuk, dukung program Wakaf Mulia dengan berwakaf! Klik https://www.wakafmulia.org/program/
Penulis: Muhamad Syauqi Syahid, Mahasiswa Sejarah Universitas al-Azhar Kairo
Sumber & Referensi:
Al-Ṭabaqāt al-Kubrā, Ibn Saʻd
Tārīkh al-Madīnah al-Munawwarah, Ibn Syabbah
Niẓām al-Waqf fī al-Islām, ʻAlī M. al-Zahrānī
Nūr al-Yaqīn, Muhammad al-Khuḍari Bek