Kita sering mendengar bahwa wakaf adalah solusi permasalahan ekonomi umat. Namun, sudahkah kita tahu bahwa Sayidina ‘Umar pernah menyelamatkan umat dari kehancuran dengan wakaf?
Setelah Jazirah Arab mantap menyatu di bawah kontrol pemerintahan Madinah, Khalifah Sayidina Abū Bakr mengerahkan seluruh kekuatan kaum muslimin untuk menjebol tembok-tembok yang menahan laju dakwah Islam, ke Romawi dan Persia. Kedua adidaya yang sedang loyo setelah lama saling bertumbuk satu sama lain itu pun dikejutkan dengan terjangan orang-orang bersorban asal gurun antah-berantah itu.
Laju jihad itu terus dilanjutkan Khalifah ʻUmar bin Khaṭṭāb, penerusnya. Di sepuluh tahun masa khidmatnya, umat Islam diguyuri kemenangan demi kemenangan. Mahkota si Raja Persia bahkan telah menjadi ganimah (rampasan perang). Kaisar Romawi juga terpaksa kabur ke Konstantinopel. Tanah-tanah Sawād Mesopotamia (Irak) yang terkenal kesuburannya jatuh ke genggaman umat Islam. Wilayah umat Islam pun sekarang memanjang dari Iran hingga Mesir.
Di balik girang-gemilang tadi, datang masalah baru. Ganimah tanah wilayah yang luas tadi beserta penduduk-penduduknya, apakah mau dibagi-bagi seperti Rasulullah ﷺ dulu membagi-bagi Khaibar?
Ketika dihadapkan dengan masalah ini para panglima berkonsultasi dulu dengan pimpinan tertinggi, walaupun para pasukan sudah meminta hak mereka. “Lihat barang-barang ganimah yang dibawa orang-orang ke markas, senjata dan harta. Bagi-bagikan itu kepada orang-orang muslim yang ikut perang. Namun, biarkan tanah dan sungai dipegang para penggarapnya, agar ia jadi pemasukan untuk kaum muslimin,” balas ‘Umar ketika Sa’d bin Abī Waqqāṣ, panglima penaklukan Irak, menyuratinya perihal masalah tadi.
“Karena jika kaubagikan ke yang ikut perang,” lanjut ʻUmar memberi alasannya. “Orang-orang setelah mereka tidak akan dapat apa-apa.”
Sayidina ‘Umar tidak berbuat bidah dengan keputusannya ini. Ia membuat kebijakan sesuai apa yang ia terima dari al-Qur’an dan ajaran Nabi ﷺ kepadanya. Lalu, ia berijtihad setelah melihat keadaan faktual masanya, dan mempertimbangkan efek jangka panjangnya.
Walau begitu, tentu saja tetap ada silang pendapat dari sahabat lainnya. Dan yang tidak setuju dengan ‘Umar bukan asal sembarangan, tetapi sahabat senior juga, seperti ‘Abdurrahmān bin ʻAuf, Bilāl bin Rabbāḥ dan lainnya—raḍiyallāhuʻanhum—. Untuk menjawab argumen Abdurrahmān yang meminta dibagikan, Sayidina ʻUmar berkata, “Kalau kaubagi-bagi tanah Irak dan penduduknya, dan Syam dengan penduduknya, lalu perbatasan garis depan disuplai dengan apa? Kemudian bagaimana nasib keturunan dan janda-janda wilayah ini dan yang lainnya, di Syam dan Irak?”
Karena misal jika tanah-tanah yang mencakup dua negara modern tadi jadi dibagi, setiap penghasilan tanah tadi hanya akan masuk ke kantong pribadi para mujahidin. Tidak ada yang masuk ke kas negara, yang pastinya akan disalurkan kepada umat Islam lagi. Belum lagi, para mujahidin ini hampir semuanya orang Arab. Orang-orang yang kompeten dalam mengelola tanah subur sangat terbatas, karena mayoritas mereka tinggal di gurun. Malah bisa-bisa, tanah-tanah tadi menjadi sia-sia dan tidak produktif.
Setelah perdebatan panjang, ‘Umar pun dapat meyakinkan semuanya. Tanah-tanah taklukan akan dibiarkan di tangan pekerja awalnya, dan wakaf persenannya menjadi pendanaan untuk kaum muslimin keseluruhan. Itu selanjutnya disebut kharāj.
Pandangan sang Fārūq tadi terbukti benar. Di masanya saja, penghasilan yang didapatkan kaum muslimin dari tanah kharāj adalah 128.000.000 dirham per tahunnya. Dengan pendanaan sederas itu, kaum muslimin dapat terus melanjutkan perjuangannya dan bertahan dari serangan balik musuh. Begitu juga program-program penyantunan sosial yang sudah sering kita dengar ketika berbicara tentang Khalifah ʻUmar.
Dan selebihnya adalah sejarah. Begitulah Sayidina ʻUmar—bisa dibilang—telah menyelamatkan umat Islam dengan konsep wakaf. Kepeduliannya kepada kita, orang-orang sesudahnya, tadi punya dampak yang besar dan masih bisa kita rasakan hingga saat ini.
Yuk, dukung program Wakaf Mulia dengan berwakaf! Klik https://www.wakafmulia.org/program/
Penulis: Muhamad Syauqi Syahid, Mahasiswa Sejarah Universitas al-Azhar Kairo
Sumber & Referensi:
Niẓām al-Waqf fī al-Islām, ʻAlī M. al-Zahrānī