“Apapun yang ʻUsman lakukan setelah hari ini, tidak ada yang akan membahayakannya (di akhirat)!” Seru Nabi Muhammad ﷺ ketika ʻUsman membawakannya sebundel berisi seribu dinar emas untuk diinfakkan di jalan Allah.
Saat itu Rajab tahun 9 H, sejak Fathu Makkah, Rasulullah Saw. selama ini hidup tenang di Madinah. Namun, tiba-tiba, beliau mendengar intel bahwa pasukan Romawi dan orang-orang Kristen Arab telah mobilisasi militer di Tabuk, utara Jazirah Arab. Mereka hendak menghabisi Madinah, kata kabar itu.
Nabi ﷺ pun bergegas mendekritkan kepada kaum muslimin untuk berkumpul, membentuk pasukan. Beliau biasanya menyembunyikan arah serangan dan siapa lawan yang akan diperangi. Namun, kali ini ia berterus terang, mempertimbangkan kuatnya lawan, tentara Romawi. Agar para sahabat dapat lebih bersiap.
Allah ingin menguji hamba-hamba-Nya. Perintah untuk berjihad kali ini sangat berat. Bulan Rajab tahun ini, matahari sedang terik-teriknya. Belum lagi, ini sudah dekat waktu panen ladang-ladang. Orang normal tentu saja lebih ingin duduk berteduh di bawah pohon kurma di ladang mereka. Sambil berkipas-kipas, melamun menyengir menantikan panen buah mereka. Walau begitu, Rasulullah ﷺ dapat merekrut 30 ribu sahabat terbaik yang imannya sekuat baja. Oleh karena kesusahan-kesusahan tadi, pasukan ini disebut Jaisy al-‘Usrah, Pasukan Kesukaran.
Untuk itu, Rasulullah ﷺ mendorong para sahabat yang kaya untuk berkorban harta di jalan Allah, mendanai kampanye militer yang berat ini. Salah satu yang paling semangat menyambut adalah Sahabat ‘Usman bin ‘Affan.
Ia waktu itu sedang menyiapkan kafilah dagang yang terdiri dari 300 unta lengkap ke Syam. Ketika mendengar seruan Nabi Saw., tanpa pikir panjang, ia langsung mengerahkan 300 unta itu untuk jihad, lengkap dengan sadelnya dan perbekalannya. Ia juga menambahkan 10 ribu dinar emas dan 50 kuda perang. Dengan begitu, Sayidina ʻUsman menjadi sahabat yang paling banyak menyumbang. Ia sudah mendanai sepertiga pasukan, 10 ribu personil.
“Apapun yang ʻUsman lakukan setelah hari ini, tidak ada yang akan membahayakannya (di akhirat),” sanjung Nabi Saw. berkali-kali. Beliau juga berdoa, “Ya Allah, ridailah ʻUsman, karena Aku telah rida terhadapnya.”
Begitulah Sayidina ʻUsman. Salah satu yang terbaik dari generasi terbaik. Baginya, perintah untuk berjihad dengan harta itu bukan beban, tapi kesempatan. Kesempatan untuk “membeli” rida Allah dan rida Rasul-Nya.
Referensi:
ʻAbdurrahman Amīn, Dirāsāt fī al-Sīrah al-Nabawiyyah
Muhammad al-Khudari Bek, Nur al-Yaqin
Muhammad Sa’id al-Tantawi, Min Fada’il al-‘Asyrah al-Mubasysyarin bi al-Jannah