Wakafmulia.org

Para Sahabat Berwakaf

“…خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ”

“Sebaik-baik manusia adalah (yang ada pada) masaku, lalu yang setelahnya, lalu yang setelahnya…” (HR. Bukhārī)

Sesuai akidah Ahlussunnah, para sahabat adalah manusia terbaik yang pernah menjejaki bumi, setelah para nabi. Segenggam amalan mereka tak sebanding dengan segunung amalan muslim biasa. Wajar saja, merekalah yang selalu membersamai Rasulullah ﷺ di setiap suka-dukanya, berkorban harta, darah, dan nyawa. Juga, setiap huruf Al-Qurʻan dan hadis yang kita kaji, setiap gerakan ibadah yang kita amalkan, mereka semualah yang mengajarkan. Selain itu, tiap kali Rasul ﷺ mengajarkan sesuatu, mereka bergegas untuk mengamalkannya. Salah satunya ajaran itu adalah wakaf. 

Ketika Rasulullah ﷺ sampai ke Madinah, tidak ada sumur yang deras air minumnya. Hanya ada sumur Rūmah, yang dimiliki oleh seorang Yahudi, sehingga kaum muslimin harus membayar untuk mengakses sumber air tersebut. “Barangsiapa yang mau membeli sumur Rūmah,” seru Rasul ﷺ. “Lalu menjadikan timbanya seperti timba kaum muslimin, akan mendapat kebaikan di surga.”

Mendengar hal itu, sahabat ‘Uṡmān b. ʻAffān, salah satu sahabat terkaya, menyanggupi sayembara berhadiah surga tadi. Ia menawar sumur tadi dengan harga yang tinggi. Namun, sang pemilik menolak untuk menjual sumur itu sepenuhnya. Hasil akhirnya pun adalah tiap belah pihak dapat memanfaatkan sumur tadi secara selang-seling tiap hari. Hari ini giliran si Yahudi, hari selanjutnya hak Sayidina ʻUṡmān. Hari hak ʻUṡmān tadi beliau gratiskan untuk seluruh kaum muslimin, yang kaya-miskin, yang laki-perempuan. 

Kaum muslimin pun menyesuaikan diri. Pada hari gratis, mereka memenuhi kendi-kendi mereka untuk dua hari, sehingga besoknya tidak perlu membeli lagi. Sang pemilik sumur pun kliyengan juga. Buat apa hari sumurnya dipertahankan, toh tidak ada profitnya juga. Ia pun terpaksa menjualnya juga kepada sahabat ʻUṡmān, sehingga Rūmah sekarang sepenuhnya jadi wakaf bagi kaum muslimin.

Rasulullah ﷺ pun sangat menyanjung langkah ʻUṡmān, “Allahumma aujib lahu al-jannah. Ya Allah, tetapkan baginya surga!”

Karena saking berkahnya, wakaf sumur itu masih terus mengalir sampai sekarang di Madinah. Bahkan sudah berkembang sangat pesat. Sehingga manfaatnya masih bisa terus disalurkan.

Gambar: Hotel wakaf Sayidina ʻUṡmān, jauh berkembang dari yang awalnya hanya berupa sumur (gambar sebelumnya, yang paling atas).

Lalu di kesempatan lain, setelah kaum muslimin menang besar melenyapkan bahaya Khaibar, ‘Umar b. al-Khaṭṭāb mendapat sebidang tanah di sana sebagai bagian ganimahnya. Ia tak pernah punya harta seharga itu sebelumnya. Ia pun datang kepada Nabi ﷺ, menanyakan apa yang harus ia lakukan dengan tanah itu. “Jika kau mau, Umar,” Nabi ﷺ menyarankan. “Kau tahan pokoknya, lalu kau sedekahkan (hasilnya).”

Itu pun yang Sayidina ʻUmar lakukan. Pokoknya ditahan, tak dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Hasilnya lalu dapat dimanfaati oleh orang-orang yang membutuhkan, juga keluarganya. Lalu pengelolaan harta wakaf tadi terus dilanjutkan oleh anak-keturunannya. Bahkan, hingga hampir dua abad setelah pewakafan tadi (masa Harun al-Rasyīd), keberlangsungan produktifitas wakaf tadi masih dapat dilacak pada sumber-sumber sejarah.

Selain itu, percakapan antara Sayidina ʻUmar dan Rasulullah ﷺ tadi terus mengabadi. Diriwayatkan dari ṭabaqah ke ṭabaqah, menjadi dasar dan petunjuk bagi para ulama untuk merumuskan fikih perwakafan.

Amal wakaf ini lalu menjadi tren di kalangan para sahabat. “Sudah tidak ada lagi dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ yang berkemampuan, “ Sahabat Jābir b. Abdillah bersaksi. “Yang tidak berwakaf.”

Raḍiyallahu ʻanhum ajmaʻīn, semoga Allah meridai mereka semua.

Penulis: Muhamad Syauqi Syahid, Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Universitas al-Azhar Kairo