Kembali ke seri #AmalTakPutusParaAuliya, sangat tidak afdal jika kita tidak membicarakan salah satu amal wakaf paling terkenal para sahabat. Amal ini terus-menerus disebutkan dalam kajian-kajian atau seminar-seminar yang membahas perwakafan. Ya, itu adalah amal wakaf Sahabat Abū Ṭalḥah.
Ia adalah Abū Ṭalḥah Zaid bin Sahl al-Anṣārī—raḍiyallāhuʻanhu—, salah satu pemuka ahli Badr, juga salah satu dari 12 naqīb (pemimpin) Anṣār yang dipilih pada malam Baiat ʻAqabah. Selain itu, ia juga dikenal sebagai orang Anṣār yang paling banyak pohon kurmanya. Melihat profil singkatnya, kita sudah tidak perlu lagi mempertanyakan bagaimana kualitas keislaman beliau.
Kualitas itu tercermin dari bergegasnya ia seketika mendengar turunnya ayat, “Lan tanālū al-birra ḥattā tunfiqū mimmā tuḥibbūn, Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai… (Āli ʻImrān: 92)”
Sesuai penuturan Sahabat Anas bin Mālik—raḍiyallāhuʻanhu—, setelah Abū Ṭalḥah mendengar ayat tadi, ia datang kepada Rasulullah ﷺ. “Rasulullah,” ucap Abū Ṭalḥah. “Allah—tabāraka wa taʻālā—berfirman, ʻLan tanālul-birra ḥattā tunfiqū mimmā tuḥibbūn.ʻ Sedangkan hartaku yang paling kucinta adalah Bairuhāʻ.”
Bairuhāʻ adalah sebidang kebun di Madinah yang subur. Berada di utara Masjid Nabawi. Rasulullah ﷺ pernah memasukinya, berteduh di sana, juga minum dari mata airnya.
“Itu semua untuk Allah—ʻazza wa jalla—dan untuk Rasul-Nya ﷺ,” lanjutnya. “Aku mengharapkan kebajikannya dan pahalanya. Maka gunakan ia, wahai Rasulullah, sesuai yang Allah tuntunkan kepadamu.”
“Bakh, bagus, Abū Ṭalḥah!” Sambut Rasul ﷺ senang. “Itu adalah harta yang penuh keuntungan. Kami terima ia darimu, tetapi kami kembalikan lagi kepadamu. Salurkanlah ia kepada sanak kerabat.”
Lalu itulah yang Abū Ṭalḥah lakukan. Ia wakafkan kebunnya tadi untuk kerabatnya. Anas bin Mālik menambahkan di akhir riwayatnya, “Termasuk di antaranya adalah Ubay (bin Kaʻb) dan Ḥassān (bin Ṡābit).”
Aset wakaf tadi terus melimpahkan manfaatnya untuk berabad-abad. Bahkan, pada suatu masa, mauqūf ʻalaih-nya (penerima manfaat) harus beralih menjadi para fakir secara umum. Bisa jadi karena kerabat Abū Ṭalḥah sudah sulit terlacak lagi saking banyak dan tersebarnya.
Itu diketahui dari pengakuan Sejarawan Ibnu al-Najjār (wafat 643 H/1245 M) dalam bukunya, al-Durrah al-Ṡamīnah. “Ia (Bairuhāʻ) adalah wakaf untuk para fakir dan miskin.” Ia juga mengutip perkataan al-Maṭarī, “Ia sekarang (pada masanya) dikenal dengan al-Nuwairah, karena ia dibeli beberapa wanita al-Nuwairah, para khatib Makkah.”
Kebun itu terus bersikeras eksis hingga akhir abad sebelum ini. Namun, pada tahun 1994, ia dimasukkan ke dalam perluasan Masjid Nabawi. Lokasinya sekarang kira-kira ada di beberapa meter kiri dari pintu masuk Gerbang Raja Fahd yang bernomor 21, begitu pendapat Dr. Muhammad Ilyās dalam Tārīkh al-Madīnah al-Munawwarah al-Muṣawwar.
Kisah Sahabat Abū Ṭalḥah yang mengamalkan wakaf dengan ikhlas mengingatkan kita akan kepentingan perwakafan dalam Islam. Amal kecil ini membuktikan bahwa tindakan baik yang dilakukan dengan niat tulus untuk Allah bisa memberikan manfaat yang tak terbatas. Semoga kisah Abū Ṭalḥah menginspirasi kita untuk berbagi harta dengan sesama dan menjalani kehidupan yang berkah sesuai dengan ajaran Islam. Mari kita terus berupaya melakukan kebaikan dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, menjadi bagian dari tradisi amal tak putus para auliya.
Yuk, dukung program Wakaf Mulia dengan berwakaf! Klik https://www.wakafmulia.org/program/
Penulis: Muhamad Syauqi Syahid, Mahasiswa Sejarah Universitas al-Azhar Kairo
Sumber & Referensi:
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, al-Bukhārī
Al-Durrah al-Ṡamīnah, Ibnu al-Najjār
Niẓām al-Waqf fī al-Islām, ʻAlī M. al-Zahrānī
Tārīkh al-Madīnah al-Munawwarah al-Muṣawwar, Muhammad Ilyās