Sayidina ʻAlī bin Abī Ṭālib—karramallahuwajhah—merupakan salah satu sahabat yang paling mulia. Sepupu Nabi ﷺ inilah yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak, ia juga tumbuh dalam asuhan langsung Sang Nabi ﷺ. Belum lagi, ia yang dipercaya beliau untuk menjadi suami putri tersayangnya. Seluruh keturunannya yang mulia bahkan lahir dari sulbinya. Nabi ﷺ berkata tentangnya, “Yuḥibbullaha wa rasūlah, wa yuḥibbuhullahu wa rasūluh. Ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, juga dicinta Allah dan Rasul-Nya.”
Selain amalnya dalam membela Nabi ﷺ sejak awal diutusnya, ia juga salah satu sahabat yang paling banyak berwakaf. Padahal, beliau termasuk sahabat yang tidak terlalu berpunya pada awalnya. Kehidupan sederhananya bersama Sayidah Fāṭimah sudah masyhur. Ibn al-Aṡīr meriwayatkan kesaksian ʻAlī dalam Usud al-Gābah, “Aku ingat diriku dulu pernah mengikat ganjalkan batu di perutku karena kelaparan. Sedangkan hari ini, sedekahku (wakaf) telah mencapai empat ribu dinar emas (dalam riwayat lain empat puluh ribu).”
Aset-aset wakafnya tersebar. Yang paling terkenal adalah tanahnya di Yanbuʻ, barat Madinah di pesisir Laut Merah. Ia mendapat sebidang tanah di sana dari Rasulullah ﷺ. Lalu Khalifah ʻUmar menambahkannya lagi. Sayidina ʻAlī juga memperluasnya lagi dengan membeli tanah di sekitarnya. Tanah itu pun akhirnya menjadi sangat luas. Tanah itu juga diberkahi dengan mata-mata air deras yang menyuburkannya. Hasil produksi tanah itu pun meninggi, dan dibagi-bagikan kepada para fakir, ibnusabil, dan kerabat yang membutuhkan.
Selanjutnya, ia masih punya wakaf-wakaf di Madinah. Salah satunya al-Faqīrain yang diberikan Rasulullah ﷺ kepadanya. Di dekat Madinah, ada Suwaiqah, yang dijadikan tempat tinggal oleh trahnya untuk waktu yang lama. Namun, sayangnya tempat itu dilibas habis Khalifah al-Mutawakkil al-ʻAbbāsī karena salah satu keturunan ʻAlī memberontak.
Tanah-tanah dan mata air milik Sayidina ʻAlī di Wādī al-Qurā juga tak ketinggalan menjadi amal wakafnya. Setelah yang disebutkan di atas, masih banyak lagi aset-aset pribadinya yang ia wakafkan.
Pengelolaan wakaf setelah beliau ia serahkan kepada anaknya, Ḥasan bin ‘Alī. Untuk kemudian dilanjutkan Ḥusain bin ʻAlī —raḍiyallahuanhum—, dan keturunannya seterusnya. Itu berlangsung untuk beberapa abad yang panjang. Penentuan nażir tadi sesuai dengan teks surat wakafnya. Teks itu terekam dalam riwayat yang dicantumkan Ibnu Syabbah dalam Tārīkh al-Madīnah.
Begitulah wakaf Sayidina ʻAlī. Banyak dan tersebarnya amalnya mencerminkan kedermawanan dan kepeduliannya terhadap sesama. Tak ayal, Allah dan Rasul-Nya mencintainya balik.
Yuk, dukung program Wakaf Mulia dengan berwakaf! Klik https://www.wakafmulia.org/program/
Penulis: Muhamad Syauqi Syahid, Mahasiswa Sejarah Universitas al-Azhar Kairo
Sumber & Referensi:
Ṣaḥīh al-Bukhārī, Imam al-Bukhārī
Niẓām al-Waqf fī al-Islām, ʻAlī M. al-Zahrānī
Tārīkh al-Khulafāʻ al-Rāsyidīn, Muhammad ʻAbd-al-ʻĀl