Dekade keempat hijriah menyaksikan perpindahan kekhalifahan ke tangan Mu’āwiyah bin Abī Sufyān—raḍiyallahuʻanhu—, dan seterusnya Dinasti Umayyah. Pindah-tangan itu tak sepenuhnya lancar, bahkan diwarnai dengan pertumpahan darah. Walau begitu, amal wakaf tetap berjalan di rezim yang baru. Bahkan, akan berkembang di waktu-waktu selanjutnya. Khalifah Muʻāwiyah, sama halnya dengan sahabat lain, juga punya amal-amal wakaf untuk umat.
Makkah adalah kota yang terkenal dengan kekeringannya. Bahkan, rifādah (menyediakan minum dan jamuan untuk jamaah haji) adalah jabatan yang bergengsi pada masa jahiliah. Nah, amal wakaf Sayidina Muʻāwiyah banyak bergerak di penyediaan air untuk kota suci itu.
Ia menyalurkan beberapa mata air ke sekitar sana, hingga tempat yang diairi dapat menjadi kebun. Di kebun-kebun itu, ada masyraʻah, kolam penampungan untuk mengambil air. Kebun-kebun itu antara lain: Kebun al-Ḥumām, ʻUrf, al-Ṣafā, Maurisy, Khurmān, Muqaiṣarah, Ḥarāʻ, Ibn Ṭāriq, Fakh, dan Baldaḥ.
Selain di kota haram Makkah, ia juga mengairi kota haram Madinah. Ia menyalurkan air dari wadi Ḥuruḍ di Uḥud, juga dari Sumur al-Muṭṭalib al-Makhzūmī, mengalir sejauh empat mīl (kira-kira 14.8 km), hingga bermuara di Kolam al-ʻAin.
Lalu, ada lagi Mata Air al-Azraq, yang dialirkan Muʻāwiyah dengan perantara gubernurnya di Madinah, Marwān. Air itu berasal dari sebelah barat Masjid Qubbāʻ, berada di tengah sebuah kebun yang subur. Semua air alirannya tadi menjadi kemanfaatan bagi warga Madinah. Karena walaupun Madinah terkenal akan kesuburannya, tetapi itu relatif, air tetap sangat dibutuhkan. Ia tak bisa disamakan dengan sebuah desa pinggir sungai di Jawa.
Khalifah Muʻāwiyah tak hanya berurusan dengan air dalam amal wakafnya. Di Makkah, ia mewakafkan sebuah rumah dapur amal yang disebut Dār al-Marājil. Di sana, asap terus mengepul untuk memasak makanan untuk para jamaah haji. Apalagi untuk para fakir-miskin dan orang-orang saum di waktu Ramadan.
Masih banyak lagi amalan-amalan yang ia lakukan, sebelum maupun sesudah menjadi khalifah. Amal wakafnya dinikmati oleh umum, tanpa diwariskan, dihibahkan, dan diperjualbelikan. Seterusnya, ia menjadi amal tak putus beliau.
Yuk, dukung program Wakaf Mulia dengan berwakaf! Klik https://www.wakafmulia.org/program/
Penulis: Muhamad Syauqi Syahid, Mahasiswa Sejarah Universitas al-Azhar Kairo
Referensi:
Niẓām al-Waqf fī al-Islām, ʻAlī M. al-Zahrānī